Sabtu, 22 Desember 2012

Juara 1 lomba cerpen peringatan hari ibu yg diadakan oleh FSMI FEKON UMRAH


                                   



 
                              “Dua Ibu, Satu Cinta” 
                                  

                                      Pengalaman seorang sahabat, oleh : Heriani

Bunda
Kau sangat berarti untukku
Memberi damai dan membagi kasih,
Jangan pergi dariku,
Sebelum aku mampu membahagiakanmu…
      
     Siapa bilang ibu tiri itu kejaam??? Buktinya ibu tiriku baik. Gak pernah sekalipun berlaku dzalim padaku juga pada mas Ega.  Oleh sebab itu pada kesempatan yang baik ini, aku ingin berbagi cerita tentang kebaikan seorang ibu tiri. Tulisan ini kudedikasikan untuk Ibu tiriku yang pernah mencintai dan mengasihiku, bahkan iapun telah merubahku menjadi lebih baik.  Lanjut baca ya…!!
     Namaku Aliya. Usiaku kini telah menginjak 21 tahun dan masih kuliah di salah satu perguruan tinggi dikotaku. Aku adalah anak kedua dari mama Rita dan papa Ardi. Ketika mama masih ada, kehidupan kami cukup bahagia. Mama selalu memeberikan apa yang kami mau. Segala keinginanku dengan mudah terpenuhi. Kehidupan kami memang serba berkecukupan, materi  berlimpah. Meskipun untuk hari-hari biasa mama dan papa jarang dirumah, namun setiap minggu mereka selalu meluangkan waktu untuk kami berdua dan biasanya kami akan diajak keluar kota.  Mas Ega dan aku merasa beruntung memiliki mereka berdua.
     Tapi kebahagiaan itu seolah sirna sejak mama mengidap suatu penyakit yang benar-benar membuatnya menderita. Yaa.. mama terkena penyakit ginjal. Sekujur tubuhnya membengkak. Hatiku terus saja merasa perih ketika dokter menyarankan kepada kami agar mama cuci darah. Dan itu dilakukan mama dua kali dalam sebulan. Tak ada lagi yang bisa kami lakukan selain menuruti saran dokter. Setahun penuh mama menderita, bahkan sudah dibawa berobat keluar negeri namun tetap saja tak ada perubahan. Mama terlihat semakin menderita hingga pada akhirnya mama menghembuskan nafas terakhirnya. Tak ada yang bisa kulakukan selain menangis dan menangis.
     Aku masih terlalu kecil untuk mengerti semuanya. Usiaku ketika itu baru menginjak 10  tahun. Dan penyesalan yang begitu mendalam kurasakan adalah ketika mama pergi dan aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali mengangis. Aku tak bisa mengaji. Aku hanya bisa menatap tubuh mama yang terbujur kaku tanpa mampu mendoakannya. Yaa..aku baru menyadari bahwa selama ini mama dan papa tak pernah mengajariku akan pentingnya semua itu.
     Dan disaat 3 tahun kepergian mama, aku hanya murung dirumah dan tak ada semangat untuk melakukan apapun. Aku hanya keluar jika akan berangkat sekolah, dan mengurung diri dikamar saat pulang.  Papa tak bisa berbuat banyak untukku karena kesibukannya dikantor. Hingga pada akhirnya papa meminta izin kepada kami untuk menikah lagi. Alasannya agar suatu hari nanti ada yang memberi perhatian padaku hingga  aku tak murung lagi. Namun aku tak mau. Aku tak ingin ada yang menggantikan posisi mama dihatiku. Mama tiri itu jahat. Aku tak mau jika nanti hidupku malah menderita karena  kehadirannya. Papapun menurutiku.
     Dan disaat usiaku menginjak 17 tahun, papa mencoba berbicara kepadaku tentang keinginannya untuk menikah lagi. Aku sudah mengerti ketika itu. Tak hanya aku yang butuh perhatian seorang mama, tapi juga papa. Aku yakin papa sangat membutuhkan pengganti mama yang mampu mengurusi segala keperluannya.  Bahkan yang mampu mencurahkan perhatian serta kasih sayangnya pada papa.
     Aku dan mas Egapun menuruti permintaan papa, hingga suatu hari papa mengajak kami untuk bersilaturahmi kerumah calon mama tiri kami. Sesampainya dirumah itu, aku memperhatikan segala yang ada disekeliling rumah yang tampak sangat sederhana. Bahkan sangat jauh berberda dengan kondisi rumahku. Rumah sederhana yang indah menurut pandangan mataku. Bunga-bunga dan pohon rindang tertata rapi disudut-sudut pekarangan.
     “Assalamualaimkum,,,,” Ucap papa saat kami berada didepan pintu rumah sederhana itu. Beberapa saat kemudian pintu terbuka dan tampak seorang laki-laki tua yang mungkin usianya jauh diatas papa. “Wa’alaikumsalam.. ayo nak Ardi, silahkan masuk!!” Ujar lelaki tua itu ramah. Sembari menyalami nya, kamipun melangkah masuk kedalam rumah lalu duduk dikursi tamu.
     “Apakabarnya pak?? Mohon maaf saya baru sempat kemari. Karena memang pekerjaan dikantor tidak bisa ditinggal.” Ujar papa membuka pembicaraan. Lelaki tua itu tampak tersenyum ramah, menatap kami. “Alhamdulillah,, sehat yang luar biasa. Tak mengapa nak, yang penting tujuanmu sudah jelas. Bapak hanya ingin kau dan Ulfa menyegerakan pernikahan ini agar tak menimbulkan fitnah.” Papa terdiam sembari mengangguk lalu memperkenalkan kami. “Oh iya pak, ini kedua anak saya yang pernah saya ceritakan beberapa waktu yang lalu. Yang ini Ega Syahrunizam anak pertama saya sudah kuliah semester 5 dan Ini Aliya Nirmala anak kedua saya yang baru saja lulus SMA. Semoga dek Ulfa dapat menerima mereka nanti selayaknya anak sendiri,” Ucap papa sambil merangkul kami berdua yang berada disamping kiri dan kanannya.
     “Ini adalah atok Ahmad, papa kandung tante Ulfa.” Ujar papa lagi tanpa ragu. Aku hanya terseyum begitupun mas Ega.
     Beberapa saat kemudian, seorang wanita muda keluar dari dalam rumah membawa nampan yang tersusun gelas berisi teh hangat dan dua toples berisi kue. Aku menatapnya tanpa berkedip. Dan aku sangat kaget luar biasa karena calon ibu tiriku adalah wanita jilbaber. Dia memang masih sangat muda, dan kuyakin usianya jauh dibawah mama. Namun jujur, aku paling gak suka dengan wanita yang berjilbab besar seperti halnya teman-teman cewek rohis disekolah yang menurutku sok alim itu. Gimana gak,, pada tau kan cewek-cewek itu kalau pake baju gimana?? Gak ada modis-modisnya sama sekali. Jilbab lebar layaknya kain alas meja mama dirumah. Belom lagi baju dan rok yang udah persis ibu-ibu mau kepasar. Terus kaos kaki yang mungkin gak di cuci-cuci. Pokoknya gaya mereka itu udah seperti jemuran numpuk.
     Namun kini calon ibu tiriku adalah makhluk yang seperti itu. Gak kebayang gimana jadinya jika aku satu rumah dengan nya nanti.  “Hufffft” Aku menghela nafas lalu kualihkan pandanganku kearah lain. Tante Ulfapun duduk disamping Tok Ahmad seusai menyodorkan tehnya kepada kami. “Ini Aliya dan Ega ya Mas??” Tanya tante Ulfa menatap mas Ega dan Aku bergantian seraya tersenyum. Aku sama sekali tak membalas senyumnya. Aku merasa tak betah dan ingin sekali pulang. “Iya,, inilah kedua anakku yang pernah kuceritakan beberapa waktu yang lalu. Kuharap nanti dek Ulfa bisa mengaggapnya seperti anak sendiri.” Ujar papa lalu dijawab dengan anggukan kecil tante Ulfa sembari tersenyum.
****
     Dua minggu setelah kedatangan kami, papapun menikahi tante Ulfa disalah satu masjid dikotaku. Sebelumnya aku sempat menyatakan kepada papa bahwa aku sama sekali tidak setuju jika papa menikahi wanita seperti dia yang jauh berbeda jika kubandingkan dengan mama. Mama sangat modis, penampilannya yang jelas tidak sesederhana tante Ulfa. Dan aku tentu mengikuti jejak mama. Aku tak ingin jika nantinya tante Ulfa mengatur hidupku apalagi masalah pakaian. Namun papa berjanji bahwa tante Ulfa tak akan pernah mengatur kehidupanku.
     Sebulan setelah pernikahan papa, aku mulai agak risih dengan wanita itu. Yang ku khawtirkan akhirny terjadi juga. Ia sudah mulai menerapkan aturannya. Biasanya, aku selalu melempar sepatu sekolahku kesudut pintu, tapi kini aku harus meletakkannya diatas rak sepatu yang telah ia sediakan. Baju yang kukenakanpun tak boleh terlalu ketat. Celana pendek tak boleh kukenakan keluar rumah kecuali hanya didalam kamar. Pernah suatu hari aku bertengkar dengannya. Waktu itu papa tak ada dirumah. Di awal-awal aku kuliah, aku memang sering mengajak teman-teman kampusku kerumah sekedar untuk ngobrol atau menonton. Waktu semakin larut ketika itu, hingga akhirnya suara azan magrib mulai terdengar. Aku dan teman-temanku masih saja asyik menonton. Namun tanpa sadar TV langsung saja mati. Aku kaget. Ternyata tante Ulfa yang telah nekat mematikannya.
     “Al,,, sudah azan, sholat dulu ya! Baru lanjutkan kembali nontonnya.” Ucapnya lembut. Berbicara dengannya memang harus memasang kuping dengan benar. Karena suaranya terlalu kecil untuk rumah sebesar ini. Akupun merampas remote TV yang ada digenggamannya lalu membantingnya kelantai. “Eh,,, ingat ya… kau disini hanya menumpang. Ini adalah rumah mama dan papaku. Kau sama sekali tak berhak mengatur aku. Mengerti…!!!” Teriakku  ketika itu. Aku benar-benar emosi, bahkan tanpa sadar aku hampir saja menamparnya namun urung karena tiba-tiba saja mas Ega datang mengehentikan perbuatanku. “Al… apa-apaan sih kamu?? Mau jadi anak durhaka? Bunda Ulfa adalah bunda kita saat ini sampai kapanpun.” Teriak mas Ega. “Tidak…. Tak satu orangpun yang bisa menggantikan posisi mama. Ingat itu Mas!!” Ujarku terisak lalu berlari kekamar.  Teman-temanku yang saat itu terlihat kaget melihat pristiwa yang terjadi lalu bergegas pamitan untuk pulang.
        Papa marah besar saat tau kejadian itu. Sampai-sampai aku hampir saja diusirnya. Namun tante Ulfa memujuk papa agar aku tetap tinggal dirumah ini. Papa benar-benar berubah. Ia yang tak pernah sekalipun memarahiku, malah kini mengusirku. Banyak perubahan yang terjadi dirumah ini sejak kedatangan tante Ulfa. Papa dan mas Ega kini mulai rajin sholat berjamaah kemasjid. Padahal sebelumnya mereka jarang melakukan itu kecuali hari lebaran dan malam ramadhan.
     Semakin hari mas Ega terlihat rapat dengan Tante Ulfa. Bahkan papa yang biasanya jarang pulang, malah kini selalu menyediakan waktu untuk bisa makan siang dan makan malam dirumah. Ada apa sebenarnya? Setelah kejadian itu, papa tak lagi menegurku. Akupun mengurung diri dikamar. Aku merasa tak ada lagi yang peduli padaku. Kebaikan tante Ulfa sama sekali tak menarik perhatianku. Aku bertekad untuk tidak makan jika tante Ulfa yang menawarkannya padaku. Aku ingin papa yang datang membawakan makanan untukku, atau sekedar menjengukku kekamar. Tapi apa yang kuharapkan tak  terjadi. Akupun tetap bertekad mengurung diri dikamar, hingga akhirnya aku jatuh sakit. Aku benar-benar lemah dan tak mampu berbuat apa-apa. Dan sejak itulah aku mulai menyadari akan kesalahanku selama ini. Ternyata tante Ulfa sangat baik dan tulus padaku.
     Saat aku tak mampu melakukan apa-apa, tante Ulfa lah yang brsedia melakukan semuanya. Dari membuatkanku makanan, menyuapiku, hingga memapahku kekamar mandi. Tak ada yang peduli padaku bahkan papa dan Mas Egapun hanya sesekali menjengukku kekamar ketika aku sakit. Perhatian tante Ulfa benar-benar tulus, dan kurasa inilah yang kubutuhkan selama ini. Hingga akhirnya hatiku mulai luluh.
     “Bunda, maafin Alya yang selama ini tak pernah mau menuruti nasehat bunda…” Ucapku suatu malam saat aku tengah disuapi tante Ulfa. Itulah kali pertamnya aku memanggilnya dengan sebutan ‘Bunda’. Selama ini aku merasa tak sudi memangginya dengan sebutan itu. Ia hanya tersenyum sembari membelai rambutku dengan lembut. Kulihat butiran bening kini mulai mengalir dari sudut mata indahnya. Sungguh kutemukan raut ketulusan dari wajahnya. Aku benar-benar beruntung memiliki bunda seperti dia.
     Jujur, ketika mama masih ada dulu, semua yang kumau dengan mudah bisa kudapatkan. Namun aku sama sekali tak pernah merasa sebahagia ini. Aku baru sadar, bahwa dulu papa selalu saja sibuk dikantor, sementara mama jarang sekali berada dirumah hingga seringkali membuatku tak betah tinggal dirumah. Bersama tante Ulfa aku merasakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang selama ini kunantikan. Darinya aku mulai paham tentang agama yang tak pernah kudapatkan dari mama dan papa. Aku yang tak pernah sholat, kini mulai merasa butuh dengan aktifitas itu. Aku yang telah lama tak membuka mushaf Al-quran, namun kedekatanku dengan Tante Ulfa membuat ku rindu untuk membukanya, membacanya lantas mengamalkannya.
     Aku memang terlahir dari papa yang memiliki kepribadian kritis. Dan kurasa sifat kritis papa menurun padaku. Tiap kali tante Ulfa menjelaskan kepadaku tentang pentingnya pemahaman agama, maka aku akan bertanya sedetil-detilnya prihal yang ia jelaskan. Bahkan aku pernah tak sepaham dengannya tentang kewajiban menutup aurat. Bagiku asal prilaku kita tak menyimpang kurasa itu sudah cukup. Ketimbang mereka yang sibuk dengan dandanan jilbabnya namun sangat kontras dengan prilakunya yang jauh
hal kebaikan. Masih suka ngomongin keburukan orang, masih suka gonta ganti pacar hanya sekedar untuk bersenang-senang dan keburukan-keburukan lainnya. Namun, tante Ulfa dengan sangat mahir pula menjelaskan kepadaku hingga aku mengaku kalah.
     “Al.. menutup aurat itu satu hal nak, dan berprilaku terpuji juga satu hal. Jika saat ini Alya tidak berperilaku buruk, maka Alya mendapatkan satu poin karena telah berprilaku baik. Namun jika Alya berperilaku baik lantas juga diiringi dengan menutup aurat maka Alya mendapatkan 2 point. Tentu jika melakukan keduanya pahala kita semakin bertambah Al.” Itulah jawaban tante Ulfa saat kami tengah berdebat. Hmm… dia memang wanita dan ibu yang cerdas. Dengannya pulalah aku semakin paham tentang harga diri wanita yang sepantasnya memang harus ditutup dengan jilbab. Dan kini aku telah berjilbab.
     “Subhanallah….” Itulah kata-kata yang keluar dari bibir tante Ulfa saat melihatku pertama kali mengenakan jilbab biru pemberiaanya beberapa waktu yang lalu. Kulihat matanya mengalirkan sesuatu. Ya,, dia menangis dan langsung memelukku erat.. sangat erat. “Al… kamu cantik sayang… sungguh sangat cantik. Papa pasti bahagia melihat perubahanmu.” Ucapnya masih terisak. .Tanpa kusadari terasa ada yang menetes dari sudut mataku. Sungguh aku tak kuat menahan perasaanku saat itu. Aku benar-benar merasakan hangatnya pelukan seorang bunda yang telah lama kunantikan.
     Dan seiiring bergulirnya waktu, akhirnya  akupun mengikuti jejak bunda. Semua teman-teman kaget melihat perubahanku yang berubah drastis. Dua minggu aku tak kuliah, dan disaat aku masuk kuliah aku telah berjilbab. Pada kesempatan itu aku bertekad untuk berhijab sampai kapanpun karena aku tahu bahwa itu memang kewajibanku sebagai seorang wanita muslimah. Melihat perubahanku papa dan mas Egapun bahagia. Bunda memang memberikan perubahan yang luar biasa dikeluarga kami.
     Tak ada yang mampu terucap dari bibirku kecuali rasa syukur yang tak terhingga kepada Allahurobbi… yang telah mengirimkan sang bidadari untukku dan keluargaku. Kasih sayang bunda tak jauh berbeda dengan rasa sayang mama padaku. Mungkin hanya caranya saja yang berbeda. Mama membuktikan cintanya dengan memenuhi segala keinginan kami. Berbeda dengan bunda yang mencurahkan rasa cintanya melalui perhatian yang begitu tulus untukku, mas Ega juga papa. Aku merasa telah memiliki dua ibu namun tetap satu cinta.