“Dua Ibu,
Satu Cinta”
Pengalaman seorang sahabat, oleh : Heriani
Bunda
Kau sangat berarti untukku
Memberi damai dan membagi kasih,
Jangan pergi dariku,
Sebelum aku mampu membahagiakanmu…
Siapa bilang ibu tiri itu kejaam??? Buktinya ibu tiriku baik. Gak pernah sekalipun berlaku dzalim padaku juga pada mas Ega. Oleh sebab itu pada kesempatan yang baik ini, aku ingin berbagi cerita tentang kebaikan seorang ibu tiri. Tulisan ini kudedikasikan untuk Ibu tiriku yang pernah mencintai dan mengasihiku, bahkan iapun telah merubahku menjadi lebih baik. Lanjut baca ya…!!
Namaku Aliya.
Usiaku kini telah menginjak 21 tahun dan masih kuliah di salah satu perguruan
tinggi dikotaku. Aku adalah anak kedua dari mama Rita dan papa Ardi. Ketika
mama masih ada, kehidupan kami cukup bahagia. Mama selalu memeberikan apa yang
kami mau. Segala keinginanku dengan mudah terpenuhi. Kehidupan kami memang
serba berkecukupan, materi berlimpah. Meskipun
untuk hari-hari biasa mama dan papa jarang dirumah, namun setiap minggu mereka
selalu meluangkan waktu untuk kami berdua dan biasanya kami akan diajak keluar
kota. Mas Ega dan aku merasa beruntung
memiliki mereka berdua.
Tapi
kebahagiaan itu seolah sirna sejak mama mengidap suatu penyakit yang benar-benar
membuatnya menderita. Yaa.. mama terkena penyakit ginjal. Sekujur tubuhnya
membengkak. Hatiku terus saja merasa perih ketika dokter menyarankan kepada
kami agar mama cuci darah. Dan itu dilakukan mama dua kali dalam sebulan. Tak
ada lagi yang bisa kami lakukan selain menuruti saran dokter. Setahun penuh
mama menderita, bahkan sudah dibawa berobat keluar negeri namun tetap saja tak
ada perubahan. Mama terlihat semakin menderita hingga pada akhirnya mama
menghembuskan nafas terakhirnya. Tak ada yang bisa kulakukan selain menangis
dan menangis.
Aku
masih terlalu kecil untuk mengerti semuanya. Usiaku ketika itu baru menginjak
10 tahun. Dan penyesalan yang begitu
mendalam kurasakan adalah ketika mama pergi dan aku tak bisa berbuat apa-apa
kecuali mengangis. Aku tak bisa mengaji. Aku hanya bisa menatap tubuh mama yang
terbujur kaku tanpa mampu mendoakannya. Yaa..aku baru menyadari bahwa selama
ini mama dan papa tak pernah mengajariku akan pentingnya semua itu.
Dan
disaat 3 tahun kepergian mama, aku hanya murung dirumah dan tak ada semangat
untuk melakukan apapun. Aku hanya keluar jika akan berangkat sekolah, dan
mengurung diri dikamar saat pulang. Papa
tak bisa berbuat banyak untukku karena kesibukannya dikantor. Hingga pada
akhirnya papa meminta izin kepada kami untuk menikah lagi. Alasannya agar suatu
hari nanti ada yang memberi perhatian padaku hingga aku tak murung lagi. Namun aku tak mau. Aku
tak ingin ada yang menggantikan posisi mama dihatiku. Mama tiri itu jahat. Aku
tak mau jika nanti hidupku malah menderita karena kehadirannya. Papapun menurutiku.
Dan disaat
usiaku menginjak 17 tahun, papa mencoba berbicara kepadaku tentang keinginannya
untuk menikah lagi. Aku sudah mengerti ketika itu. Tak hanya aku yang butuh
perhatian seorang mama, tapi juga papa. Aku yakin papa sangat membutuhkan
pengganti mama yang mampu mengurusi segala keperluannya. Bahkan yang mampu mencurahkan perhatian serta
kasih sayangnya pada papa.
Aku dan
mas Egapun menuruti permintaan papa, hingga suatu hari papa mengajak kami untuk
bersilaturahmi kerumah calon mama tiri kami. Sesampainya dirumah itu, aku
memperhatikan segala yang ada disekeliling rumah yang tampak sangat sederhana.
Bahkan sangat jauh berberda dengan kondisi rumahku. Rumah sederhana yang indah
menurut pandangan mataku. Bunga-bunga dan pohon rindang tertata rapi
disudut-sudut pekarangan.
“Assalamualaimkum,,,,” Ucap papa saat kami berada didepan pintu rumah
sederhana itu. Beberapa saat kemudian pintu terbuka dan tampak seorang
laki-laki tua yang mungkin usianya jauh diatas papa. “Wa’alaikumsalam.. ayo nak
Ardi, silahkan masuk!!” Ujar lelaki tua itu ramah. Sembari menyalami nya, kamipun
melangkah masuk kedalam rumah lalu duduk dikursi tamu.
“Apakabarnya pak?? Mohon maaf saya baru
sempat kemari. Karena memang pekerjaan dikantor tidak bisa ditinggal.” Ujar
papa membuka pembicaraan. Lelaki tua itu tampak tersenyum ramah, menatap kami.
“Alhamdulillah,, sehat yang luar biasa. Tak mengapa nak, yang penting tujuanmu
sudah jelas. Bapak hanya ingin kau dan Ulfa menyegerakan pernikahan ini agar
tak menimbulkan fitnah.” Papa terdiam sembari mengangguk lalu memperkenalkan
kami. “Oh iya pak, ini kedua anak saya yang pernah saya ceritakan beberapa
waktu yang lalu. Yang ini Ega Syahrunizam anak pertama saya sudah kuliah semester
5 dan Ini Aliya Nirmala anak kedua saya yang baru saja lulus SMA. Semoga dek
Ulfa dapat menerima mereka nanti selayaknya anak sendiri,” Ucap papa sambil
merangkul kami berdua yang berada disamping kiri dan kanannya.
“Ini
adalah atok Ahmad, papa kandung tante Ulfa.” Ujar papa lagi tanpa ragu. Aku
hanya terseyum begitupun mas Ega.
Beberapa
saat kemudian, seorang wanita muda keluar dari dalam rumah membawa nampan yang
tersusun gelas berisi teh hangat dan dua toples berisi kue. Aku menatapnya
tanpa berkedip. Dan aku sangat kaget luar biasa karena calon ibu tiriku adalah
wanita jilbaber. Dia memang masih sangat muda, dan kuyakin usianya jauh dibawah
mama. Namun jujur, aku paling gak suka dengan wanita yang berjilbab besar
seperti halnya teman-teman cewek rohis disekolah yang menurutku sok alim itu.
Gimana gak,, pada tau kan cewek-cewek itu kalau pake baju gimana?? Gak ada
modis-modisnya sama sekali. Jilbab lebar layaknya kain alas meja mama dirumah.
Belom lagi baju dan rok yang udah persis ibu-ibu mau kepasar. Terus kaos kaki
yang mungkin gak di cuci-cuci. Pokoknya gaya mereka itu udah seperti jemuran
numpuk.
Namun
kini calon ibu tiriku adalah makhluk yang seperti itu. Gak kebayang gimana
jadinya jika aku satu rumah dengan nya nanti.
“Hufffft” Aku menghela nafas lalu kualihkan pandanganku kearah lain.
Tante Ulfapun duduk disamping Tok Ahmad seusai menyodorkan tehnya kepada kami.
“Ini Aliya dan Ega ya Mas??” Tanya tante Ulfa menatap mas Ega dan Aku
bergantian seraya tersenyum. Aku sama sekali tak membalas senyumnya. Aku merasa
tak betah dan ingin sekali pulang. “Iya,, inilah kedua anakku yang pernah
kuceritakan beberapa waktu yang lalu. Kuharap nanti dek Ulfa bisa mengaggapnya
seperti anak sendiri.” Ujar papa lalu dijawab dengan anggukan kecil tante Ulfa
sembari tersenyum.
****
Dua
minggu setelah kedatangan kami, papapun menikahi tante Ulfa disalah satu masjid
dikotaku. Sebelumnya aku sempat menyatakan kepada papa bahwa aku sama sekali
tidak setuju jika papa menikahi wanita seperti dia yang jauh berbeda jika
kubandingkan dengan mama. Mama sangat modis, penampilannya yang jelas tidak
sesederhana tante Ulfa. Dan aku tentu mengikuti jejak mama. Aku tak ingin jika nantinya
tante Ulfa mengatur hidupku apalagi masalah pakaian. Namun papa berjanji bahwa
tante Ulfa tak akan pernah mengatur kehidupanku.
Sebulan
setelah pernikahan papa, aku mulai agak risih dengan wanita itu. Yang ku
khawtirkan akhirny terjadi juga. Ia sudah mulai menerapkan aturannya. Biasanya,
aku selalu melempar sepatu sekolahku kesudut pintu, tapi kini aku harus
meletakkannya diatas rak sepatu yang telah ia sediakan. Baju yang kukenakanpun
tak boleh terlalu ketat. Celana pendek tak boleh kukenakan keluar rumah kecuali
hanya didalam kamar. Pernah suatu hari aku bertengkar dengannya. Waktu itu papa
tak ada dirumah. Di awal-awal aku kuliah, aku memang sering mengajak
teman-teman kampusku kerumah sekedar untuk ngobrol atau menonton. Waktu semakin
larut ketika itu, hingga akhirnya suara azan magrib mulai terdengar. Aku dan
teman-temanku masih saja asyik menonton. Namun tanpa sadar TV langsung saja
mati. Aku kaget. Ternyata tante Ulfa yang telah nekat mematikannya.
“Al,,, sudah azan, sholat dulu ya! Baru
lanjutkan kembali nontonnya.” Ucapnya lembut. Berbicara dengannya memang harus
memasang kuping dengan benar. Karena suaranya terlalu kecil untuk rumah sebesar
ini. Akupun merampas remote TV yang ada digenggamannya lalu membantingnya
kelantai. “Eh,,, ingat ya… kau disini hanya menumpang. Ini adalah rumah mama dan
papaku. Kau sama sekali tak berhak mengatur aku. Mengerti…!!!” Teriakku ketika itu. Aku benar-benar emosi, bahkan
tanpa sadar aku hampir saja menamparnya namun urung karena tiba-tiba saja mas
Ega datang mengehentikan perbuatanku. “Al… apa-apaan sih kamu?? Mau jadi anak
durhaka? Bunda Ulfa adalah bunda kita saat ini sampai kapanpun.” Teriak mas
Ega. “Tidak…. Tak satu orangpun yang bisa menggantikan posisi mama. Ingat itu
Mas!!” Ujarku terisak lalu berlari kekamar.
Teman-temanku yang saat itu terlihat kaget melihat pristiwa yang terjadi
lalu bergegas pamitan untuk pulang.
Papa marah besar saat tau kejadian itu. Sampai-sampai
aku hampir saja diusirnya. Namun tante Ulfa memujuk papa agar aku tetap tinggal
dirumah ini. Papa benar-benar berubah. Ia yang tak pernah sekalipun memarahiku,
malah kini mengusirku. Banyak perubahan yang terjadi dirumah ini sejak
kedatangan tante Ulfa. Papa dan mas Ega kini mulai rajin sholat berjamaah
kemasjid. Padahal sebelumnya mereka jarang melakukan itu kecuali hari lebaran
dan malam ramadhan.
Semakin
hari mas Ega terlihat rapat dengan Tante Ulfa. Bahkan papa yang biasanya jarang
pulang, malah kini selalu menyediakan waktu untuk bisa makan siang dan makan
malam dirumah. Ada apa sebenarnya? Setelah kejadian itu, papa tak lagi
menegurku. Akupun mengurung diri dikamar. Aku merasa tak ada lagi yang peduli
padaku. Kebaikan tante Ulfa sama sekali tak menarik perhatianku. Aku bertekad
untuk tidak makan jika tante Ulfa yang menawarkannya padaku. Aku ingin papa
yang datang membawakan makanan untukku, atau sekedar menjengukku kekamar. Tapi
apa yang kuharapkan tak terjadi. Akupun
tetap bertekad mengurung diri dikamar, hingga akhirnya aku jatuh sakit. Aku
benar-benar lemah dan tak mampu berbuat apa-apa. Dan sejak itulah aku mulai menyadari
akan kesalahanku selama ini. Ternyata tante Ulfa sangat baik dan tulus padaku.
Saat aku
tak mampu melakukan apa-apa, tante Ulfa lah yang brsedia melakukan semuanya.
Dari membuatkanku makanan, menyuapiku, hingga memapahku kekamar mandi. Tak ada
yang peduli padaku bahkan papa dan Mas Egapun hanya sesekali menjengukku
kekamar ketika aku sakit. Perhatian tante Ulfa benar-benar tulus, dan kurasa
inilah yang kubutuhkan selama ini. Hingga akhirnya hatiku mulai luluh.
“Bunda,
maafin Alya yang selama ini tak pernah mau menuruti nasehat bunda…” Ucapku
suatu malam saat aku tengah disuapi tante Ulfa. Itulah kali pertamnya aku
memanggilnya dengan sebutan ‘Bunda’. Selama ini aku merasa tak sudi memangginya
dengan sebutan itu. Ia hanya tersenyum sembari membelai rambutku dengan lembut.
Kulihat butiran bening kini mulai mengalir dari sudut mata indahnya. Sungguh
kutemukan raut ketulusan dari wajahnya. Aku benar-benar beruntung memiliki
bunda seperti dia.
Jujur,
ketika mama masih ada dulu, semua yang kumau dengan mudah bisa kudapatkan.
Namun aku sama sekali tak pernah merasa sebahagia ini. Aku baru sadar, bahwa
dulu papa selalu saja sibuk dikantor, sementara mama jarang sekali berada
dirumah hingga seringkali membuatku tak betah tinggal dirumah. Bersama tante
Ulfa aku merasakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang selama ini kunantikan.
Darinya aku mulai paham tentang agama yang tak pernah kudapatkan dari mama dan
papa. Aku yang tak pernah sholat, kini mulai merasa butuh dengan aktifitas itu.
Aku yang telah lama tak membuka mushaf Al-quran, namun kedekatanku dengan Tante
Ulfa membuat ku rindu untuk membukanya, membacanya lantas mengamalkannya.
Aku
memang terlahir dari papa yang memiliki kepribadian kritis. Dan kurasa sifat
kritis papa menurun padaku. Tiap kali tante Ulfa menjelaskan kepadaku tentang pentingnya
pemahaman agama, maka aku akan bertanya sedetil-detilnya prihal yang ia
jelaskan. Bahkan aku pernah tak sepaham dengannya tentang kewajiban menutup
aurat. Bagiku asal prilaku kita tak menyimpang kurasa itu sudah cukup.
Ketimbang mereka yang sibuk dengan dandanan jilbabnya namun sangat kontras
dengan prilakunya yang jauh
hal kebaikan. Masih suka ngomongin keburukan orang,
masih suka gonta ganti pacar hanya sekedar untuk bersenang-senang dan keburukan-keburukan
lainnya. Namun, tante Ulfa dengan sangat mahir pula menjelaskan kepadaku hingga
aku mengaku kalah.
“Al..
menutup aurat itu satu hal nak, dan berprilaku terpuji juga satu hal. Jika saat
ini Alya tidak berperilaku buruk, maka Alya mendapatkan satu poin karena telah berprilaku
baik. Namun jika Alya berperilaku baik lantas juga diiringi dengan menutup
aurat maka Alya mendapatkan 2 point. Tentu jika melakukan keduanya pahala kita
semakin bertambah Al.” Itulah jawaban tante Ulfa saat kami tengah berdebat.
Hmm… dia memang wanita dan ibu yang cerdas. Dengannya pulalah aku semakin paham
tentang harga diri wanita yang sepantasnya memang harus ditutup dengan jilbab.
Dan kini aku telah berjilbab.
“Subhanallah….” Itulah kata-kata yang keluar dari bibir tante Ulfa saat
melihatku pertama kali mengenakan jilbab biru pemberiaanya beberapa waktu yang
lalu. Kulihat matanya mengalirkan sesuatu. Ya,, dia menangis dan langsung
memelukku erat.. sangat erat. “Al… kamu cantik sayang… sungguh sangat cantik.
Papa pasti bahagia melihat perubahanmu.” Ucapnya masih terisak. .Tanpa
kusadari terasa ada yang menetes dari sudut mataku. Sungguh aku tak kuat
menahan perasaanku saat itu. Aku benar-benar merasakan hangatnya pelukan
seorang bunda yang telah lama kunantikan.
Dan seiiring bergulirnya waktu, akhirnya akupun mengikuti jejak bunda. Semua
teman-teman kaget melihat perubahanku yang berubah drastis. Dua minggu aku tak kuliah,
dan disaat aku masuk kuliah aku telah berjilbab. Pada kesempatan itu aku bertekad
untuk berhijab sampai kapanpun karena aku tahu bahwa itu memang kewajibanku
sebagai seorang wanita muslimah. Melihat perubahanku papa dan mas Egapun
bahagia. Bunda memang memberikan perubahan yang luar biasa dikeluarga kami.
Tak ada yang mampu terucap dari bibirku
kecuali rasa syukur yang tak terhingga kepada Allahurobbi… yang telah
mengirimkan sang bidadari untukku dan keluargaku. Kasih sayang bunda tak jauh
berbeda dengan rasa sayang mama padaku. Mungkin hanya caranya saja yang
berbeda. Mama membuktikan cintanya dengan memenuhi segala keinginan kami.
Berbeda dengan bunda yang mencurahkan rasa cintanya melalui perhatian yang
begitu tulus untukku, mas Ega juga papa. Aku merasa telah memiliki dua ibu
namun tetap satu cinta.