Kamis, 07 Juni 2012

Senyum Untuk Ayah



      Senja terlihat semakin memerah. Malam terlarut sepi dalam jiwa seperti hari sebelumnya. Aku tergugu sendiri memandang langit nan indah didepan jendela kamarku. Menerawang jauh dan merapatap pilu. Kepedihan dihati seolah membuncah hingga ubun-ubun. Aku benar-benar merindukannya.
     Kuingat pesan terakhirnya, pesan yang begitu membekas dalam benakku.. “Jangan cengeng meski kau seorang wanita, jadilah selalu bidadari kecilku dan bidadari terbaik untuk ayah anak-anakmu kelak! laki-laki yang lebih bisa melindungimu melebihi perlindungan Ayah, tapi jangan pernah kau gantikan posisi Ayah di hatimu" Ucapan terakhir ayah 10 tahun lalu seolah menggema hingga air didalam mata membuat genangan kaca, tempat aku melihat segala. “Ayah,, andai kau masih ada, kuyakin kau selalu menyemangatiku menggapai masa depan,,” lirihku dengan bibir terbata.
      “Nad,, sedang apa?? Udah magrib nduk… ayo sholat dulu, udah azan tuh…”
Suara ibu membuyarkan lamunanku. Aku hanya mengangguk pelan. Ah,, ibu terlihat begitu tegar, namun dibalik ketegarannya, kurasa hatinyapun memendam kerinduan pada sosok ayah yang begitu bijaksana. Meski ayah hanya seorang petani desa, ibu tak pernah mengeluh pada ayah, ibu selalu setia menemaninya. Dan hasil dari bertani ayahlah aku dan ibu serta kedua adikku bisa tinggal dirumah sendiri, dan tak menumpang lagi dirumah nenek. Saat ayah telah pergi, kami telah tinggal dirumah peninggalannya.. rumah yang Tingginya sekitar 1,5 meter dari atas permukaan tanah. Dinding rumah dibuat dari susunan papan warna coklat, sementara atapnya berupa seng warna merah. Kusen pintu, jendela serta pilar anjungan depan rumah dicat minyak warna putih. Cantik sekali. Meski sederhana aku dan keluargaku bahagia tinggal dirumah ini. orang tuaku berdarah jawa, namun  aku, dan kedua adikku lahir didesa ini, tepatnya ditanah melayu. Dan kini aku telah kuliah dan sebentar lagi akan usai. Selama Kuliah, aku tinggal dikota tepatnya di kota Pekan Baru. Aku tinggal menumpang dengan paklekku bersama keluarganya. Sudah 4 tahun aku mandiri dan jauh dari ibu serta adik2ku. Hanya beberapa kali saja aku pulang ke desa,  terutama pada saat libur semester.
     “Nad, sebentar lagi sidang skripsi lho,, terus wisuda deh. Aku minta ayah dan ibu ku hadir,, ah bahagianya nad, sudah lama aku menunggu saat2 itu.” Ujar Nita beberapa waktu yang lalu. Aku hanya tersenyum getir manatapnya. “Kamu gimana nad?? Ayah dan ibumu turut hadir juga kan?” Tanya Nita. Aku menggeleng pelan. “Aku belum tau nit. Kalaupun orang tuaku bisa hadir, tentunya hanya ibu sendiri yang bisa datang mendampingiku.” Jawabku sekenanya.
“Lho.. ayahmu?” Tanya Nita kembali. Dia menatapku penuh tanda Tanya. Aku memang tak pernah bercerita kepada siapapun tentang keluargaku. Tak ada yang tau bahwa aku sudah tak memiliki ayah. Wajar saja Nita bertanya-tanya. “Hmm,, ayahku sudah tak ada Nita. Dia telah pergi 10 tahun yang lalu Sejak aku masih SMP. Aku tak sempat menemaninya menghembuskan nafas terakhir, karena aku masih disekolah” kenangku membuat Nita terlihat merasa bersalah.
 “Nad,, maaf ya. Aku sama sekali gak tau kalau ayahmu udah gak ada. Jangan sedih ya. Kan masih ada ibu. Dia pasti akan menemanimu ketika wisuda nanti.” Ujar Nita kemudian. Aku masih mengenang pristiwa 10 th yang lalu. Tiba-tiba Nita bertanya lagi, pertanyaan yang sama sekali tak kuduga. Pertanyaan yang membuatku terasa begitu menyesal jika mengingatnya. “Apakah kamu sempat mencium kening Ayahmu nad, untuk terakhir kalinya?”
“Sempat,jawabku. “ Namun setelah beliau tak ada.
Ah,, percakapanku dengan Nita beberapa  hari yang lalu begitu menyesakkan dada jika harus kuingat kembali. Namun, ketika itu pula aku teringat kisahku dengan ayah beberapa tahun yang lalu, disaat usiaku menginjak remaja. Aku terlalu sering membantah.   Yaa,, aku sering membantah perintah ayah,, bahkan ketika aku dipaksanya untuk menutup aurat.
     Dulu, aku sering dimarahi ayah karena aku belum juga memakai jilbab dan masih berpakaian pendek, seperti laki-laki. Aku selalu ribut dengan ayah, katanya aku ini anak yang keras kepala. Ayah akan berkata dengan nada yang tegas,
“Dimana urat malumu? Sampai saat ini kau belum berpakaian menutup aurat?? Harusnya kau malu pada Tuhan, pada ibumu.”  Atau  “Apa yang ayah bilang tadi? Keras kepala sekali kau ini.” Atau menyalahkanku, “Pasti ini ulah kau kan, Anak tertua seharusnya bisa memberi contoh pada adek2mu.” Aku sudah bosan dengan kata-kata itu, hingga membuatku tuli, tak peduli. Dan kini semua pesannya telah kujalani. Aku telah berjilbab sejak SMA. Ah,, andai saja dia masih ada, pasti dia akan tersenyum bahagia melihat perubahanku.
                                                          J J J
“Ayah…..” Panggilku dari kejauhan, kulihat ayahku tengah berdiri didepan sebuah pintu yang begitu terang. Hmm,, entahlah itu dimana, aku tidak tahu.
Ayahku hanya menoleh padaku lalu tersenyum, kemudian mamandang pintu itu lagi.
“Ayah,,,,” Panggilku lagi. Ayahku tetap melakukan hal yang sama seperti sebelumnya.
Aku melangkah mendekatinya. Matanya terlihat cerah diusianya yang semakin menua. Aku melihat wajahnya berseri-seri.
“Ayah…. Aku telah wisuda, aku telah sarjana…” ujarku pada ayah. Aku tersenyum,  Perasaan bahagia membuncah didalam dadaku.
“Terimakasih anakku,,, kau telah membuat ayah bangga.” Jawabnya pendek.
Aku membalas senyumnya. Kulihat ayahku kembali memandang cahaya terang yang ada dihadapannya. Ia berjalan seolah mengabaikan aku yang ada didekatnya.
Aku terus memnaggilnya. “Ayah,,,, mau kemana?? ayah…ayah…ayah… mau kemana??” Panggilku. Aku berlari mengejarnya namun terasa sia-sia. Sepertinaya ia sama sekali tak mendengarku.  Namun beberapa saat kemudian aku tersadar. Aku membuka mata, dan baru kusadari pula kini aku tengah tersedu, air mataku dengan mudahnya mengalir begitu saja. Aku mimpi bertemu ayah disaat aku tengah wisuda. Kulirik jam weker yang ada di atas meja belajarku,, jam 05.00 tepat. Aku bangun dan bersiap untuk sholat. Aku tak boleh sedih,, hari ini aku akan wisuda. Wisuda yang kutunggu-tunggu  sebagai awal puncak kesuksesan masa depanku.  Kuyakin ayah akan bahagia.
 Selesai.
TUlisan ini untuk para sahabatku yang masih memiliki kedua orang tua. Sahabat, jangan sampai terlambat. Peluk dan ciumlah kedua orang tuamu selagi sempat. Ungkapkan kata cinta yang paling indah yang mampu engkau berikan. Sungguh, mereka adalah orang-orang yang paling menyayangimu melebihi seribu kekasih yang terlalu sering bercerita tentang cinta kepadamu.Jangan sampai terlambat. Cintailah mereka. Ungkapkan selagi sempat.

Tidak ada komentar: