Senja terlihat semakin memerah. Malam
terlarut sepi dalam jiwa seperti hari sebelumnya. Aku tergugu sendiri memandang
langit nan indah didepan jendela kamarku. Menerawang jauh dan merapatap pilu.
Kepedihan dihati seolah membuncah hingga ubun-ubun. Aku benar-benar
merindukannya.
Kuingat pesan terakhirnya, pesan yang
begitu membekas dalam benakku.. “Jangan cengeng meski kau seorang wanita,
jadilah selalu bidadari kecilku dan bidadari terbaik untuk ayah anak-anakmu
kelak! laki-laki yang lebih bisa melindungimu melebihi perlindungan Ayah, tapi
jangan pernah kau gantikan posisi Ayah di hatimu" Ucapan terakhir ayah 10
tahun lalu seolah menggema hingga air didalam mata membuat genangan kaca,
tempat aku melihat segala. “Ayah,, andai kau masih ada, kuyakin kau selalu
menyemangatiku menggapai masa depan,,” lirihku dengan bibir terbata.
“Nad,, sedang apa?? Udah magrib nduk… ayo
sholat dulu, udah azan tuh…”
Suara
ibu membuyarkan lamunanku. Aku hanya mengangguk pelan. Ah,, ibu terlihat begitu
tegar, namun dibalik ketegarannya, kurasa hatinyapun memendam kerinduan pada
sosok ayah yang begitu bijaksana. Meski ayah hanya seorang petani desa, ibu tak
pernah mengeluh pada ayah, ibu selalu setia menemaninya. Dan hasil dari bertani
ayahlah aku dan ibu serta kedua adikku bisa tinggal dirumah sendiri, dan tak
menumpang lagi dirumah nenek. Saat ayah telah pergi, kami telah tinggal dirumah
peninggalannya.. rumah yang Tingginya sekitar 1,5 meter dari atas
permukaan tanah. Dinding rumah dibuat dari susunan papan warna coklat,
sementara atapnya berupa seng warna merah. Kusen pintu, jendela serta pilar
anjungan depan rumah dicat minyak warna putih. Cantik sekali. Meski sederhana
aku dan keluargaku bahagia tinggal dirumah ini. orang tuaku berdarah jawa,
namun aku, dan kedua adikku lahir didesa
ini, tepatnya ditanah melayu. Dan kini aku telah kuliah dan sebentar lagi akan
usai. Selama Kuliah, aku tinggal dikota tepatnya di kota Pekan Baru. Aku tinggal
menumpang dengan paklekku bersama keluarganya. Sudah 4 tahun aku mandiri dan
jauh dari ibu serta adik2ku. Hanya beberapa kali saja aku pulang ke desa, terutama pada saat libur semester.
“Nad, sebentar lagi sidang skripsi lho,,
terus wisuda deh. Aku minta ayah dan ibu ku hadir,, ah bahagianya nad, sudah
lama aku menunggu saat2 itu.” Ujar Nita beberapa waktu yang lalu. Aku hanya
tersenyum getir manatapnya. “Kamu gimana nad?? Ayah dan ibumu turut hadir juga
kan?” Tanya Nita. Aku menggeleng pelan. “Aku belum tau nit. Kalaupun orang
tuaku bisa hadir, tentunya hanya ibu sendiri yang bisa datang mendampingiku.”
Jawabku sekenanya.
“Lho..
ayahmu?” Tanya Nita kembali. Dia menatapku penuh tanda Tanya. Aku memang tak
pernah bercerita kepada siapapun tentang keluargaku. Tak ada yang tau bahwa aku
sudah tak memiliki ayah. Wajar saja Nita bertanya-tanya. “Hmm,, ayahku sudah
tak ada Nita. Dia telah pergi 10 tahun yang lalu Sejak aku masih SMP. Aku tak
sempat menemaninya menghembuskan nafas terakhir, karena aku masih disekolah”
kenangku membuat Nita terlihat merasa bersalah.
“Nad,, maaf ya. Aku sama sekali gak tau kalau
ayahmu udah gak ada. Jangan sedih ya. Kan masih ada ibu. Dia pasti akan
menemanimu ketika wisuda nanti.” Ujar Nita kemudian. Aku masih mengenang pristiwa
10 th yang lalu. Tiba-tiba Nita bertanya lagi, pertanyaan yang sama sekali tak
kuduga. Pertanyaan yang membuatku terasa begitu menyesal jika mengingatnya. “Apakah kamu sempat mencium kening Ayahmu nad,
untuk terakhir kalinya?”
“Sempat,” jawabku. “ Namun setelah beliau tak ada.”
Ah,,
percakapanku dengan Nita beberapa hari
yang lalu begitu menyesakkan dada jika harus kuingat kembali. Namun, ketika itu
pula aku teringat kisahku dengan ayah beberapa tahun yang lalu, disaat usiaku
menginjak remaja. Aku terlalu sering membantah. Yaa,, aku sering membantah perintah ayah,, bahkan ketika aku
dipaksanya untuk menutup aurat.
Dulu, aku sering dimarahi ayah karena aku
belum juga memakai jilbab dan masih berpakaian pendek, seperti laki-laki. Aku
selalu ribut dengan ayah, katanya aku ini anak yang keras kepala. Ayah akan
berkata dengan nada yang tegas,
“Dimana
urat malumu? Sampai saat ini kau belum berpakaian menutup aurat?? Harusnya kau
malu pada Tuhan, pada ibumu.” Atau “Apa yang ayah bilang tadi? Keras kepala
sekali kau ini.” Atau menyalahkanku, “Pasti ini ulah kau kan, Anak tertua
seharusnya bisa memberi contoh pada adek2mu.” Aku sudah bosan dengan kata-kata
itu, hingga membuatku tuli, tak peduli. Dan kini semua pesannya telah kujalani.
Aku telah berjilbab sejak SMA. Ah,, andai saja dia masih ada, pasti dia akan
tersenyum bahagia melihat perubahanku.
J J J
“Ayah…..”
Panggilku dari kejauhan, kulihat ayahku tengah berdiri didepan sebuah pintu yang
begitu terang. Hmm,, entahlah itu dimana, aku tidak tahu.
Ayahku
hanya menoleh padaku lalu tersenyum, kemudian mamandang pintu itu lagi.
“Ayah,,,,”
Panggilku lagi. Ayahku tetap melakukan hal yang sama seperti sebelumnya.
Aku
melangkah mendekatinya. Matanya terlihat cerah diusianya yang semakin menua.
Aku melihat wajahnya berseri-seri.
“Ayah….
Aku telah wisuda, aku telah sarjana…” ujarku pada ayah. Aku tersenyum, Perasaan bahagia membuncah didalam dadaku.
“Terimakasih
anakku,,, kau telah membuat ayah bangga.” Jawabnya pendek.
Aku
membalas senyumnya. Kulihat ayahku kembali memandang cahaya terang yang ada
dihadapannya. Ia berjalan seolah mengabaikan aku yang ada didekatnya.
Aku terus
memnaggilnya. “Ayah,,,, mau kemana?? ayah…ayah…ayah… mau kemana??” Panggilku.
Aku berlari mengejarnya namun terasa sia-sia. Sepertinaya ia sama sekali tak
mendengarku. Namun beberapa saat
kemudian aku tersadar. Aku membuka mata, dan baru kusadari pula kini aku tengah
tersedu, air mataku dengan mudahnya mengalir begitu saja. Aku mimpi bertemu
ayah disaat aku tengah wisuda. Kulirik jam weker yang ada di atas meja
belajarku,, jam 05.00 tepat. Aku bangun dan bersiap untuk sholat. Aku tak boleh
sedih,, hari ini aku akan wisuda. Wisuda yang kutunggu-tunggu sebagai awal puncak kesuksesan masa depanku. Kuyakin ayah akan bahagia.
Selesai.
TUlisan ini untuk para sahabatku
yang masih memiliki kedua orang tua. Sahabat, jangan sampai terlambat. Peluk
dan ciumlah kedua orang tuamu selagi sempat. Ungkapkan kata cinta yang paling
indah yang mampu engkau berikan. Sungguh, mereka adalah orang-orang yang paling
menyayangimu melebihi seribu kekasih yang terlalu sering bercerita tentang
cinta kepadamu.Jangan sampai
terlambat. Cintailah mereka. Ungkapkan selagi sempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar